RIWAYAT
HIDUP DAN FILSAFAT AL-KINDI
Makalah
Dibuat Dalam Rangka Melengkapi Tugas-tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu
Dari : Dr. Marsigit M.A.,
Tahun Aajaran 2012/2013
DISUSUN OLEH :
Nama:
Astri Wahyuni, S.Pd
Nim:
12709251044
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM
PASCA SARJANA
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2013
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI................................................................................................................
i
BAB
I PENDAHULUAN...........................................................................................
1
BAB
II PEMBAHASAN............................................................................................
3
A. Riwatat
Hidup Al-Kindi..........................................................................................
3
B. Filsafat
Al-Kindi......................................................................................................
4
1.
Filsafat Ketuhanan.............................................................................................
5
2.
Filsafat Jiwa.......................................................................................................
6
C. Keserasian
Agama dan Filsafat dalam Pandanga Al-kindi.....................................
8
BAB
III PENUTUP.....................................................................................................
12
· Kesimpulan..............................................................................................................
12
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................................
13
BAB I
PENDAHULUAN
Adanya jurang pemisah yang dalam antara islam dengan filsafat Aristoteles
dalam berbagai persoalan, kemudian adanya serangan yang banyak dilancarkan oleh
kalangan agama terhadap setiap pembahasan pikiran yang tidak membawa hasil yang
sesuai dengan kaidah agama yang ditetapkan sebelumnya, serta hasrat para filsuf
sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan tersebut agar
mereka bisa bekerja dengan tenang, itulah hal-hal yang mendorong
filsuf-filsuf untuk mempertemukan agama dengan filsafat.
Sebagaimana Al-Kindi, ia mempertemukan agama dengan filsafat atas dasar
pertimbangan bahwa keduanya sama-sama merupakan ilmu tentang kebenaran,
sehingga diantara keduanya tidak ada perbedaan. Pengaruh golongan Mu’tazilah nampak jelas pada jalan pemikirannya, ketia ia menetapkan kesanggupan akal
manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW. Ilmu filsafat pertama yang meliputi ketuhanan, keesaan, keutamaan, dan
ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana cara memperoleh hal-hal yang berguna
dan menjauhkan hal-hal yang merugikan, dibawa juga oleh rasulullah.
Menurut Al-Kindi, kita tidak boleh malu untuk mengakui kebenaran dan mengambilnya (kebenaran islam), dari manapun datangnya, meskipun dari bangsa-bangsa lain yang jauh
letaknya dari kita. Tidak ada yang lebih utama bagi orang yang mencari
kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Orang yang mengingkari filsafat
berarti mengingkari kebenaran, dan karenanya maka ia menjadi kafir. Bahkan
lawan-lawan filsafat sangat memerlukan filsafat untuk memperkuat alasan-alasannya.
Terkadang terdapat perlawanan dalam lahiriyah antara hasil pemikiran
filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Pemecahan Al-kindi terhadap masalah ini
adalah bahwa kata-kata dalam bahasa Arab bisa mempunyai arti sebenarnya
(hakiki) dan arti majazi (kiasan,
bukan arti sebenarnya). Arti majazi
ini hanya dinyatakan dengan jalan takwil ( penafsiran), dengan syarat harus
dilakukan oleh orang-orang ahli agama dan ahli pikir.
Kalau ada perbedaan antara afilsafat dengan agama, maka perbedaan itu hanya
dalam cara, sumber, dan ciri-cirinya, sebab ilmu nabi-nabi (agama) diterima
oleh mereka sesudah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan disiapkan untuk menerima
pengetahuan (ilmu) dengan cara luar biasa diluar hukum alam.
Sesuai dengan pendirian Al-Kindi, bahwa filsafat harus memilih, maka ia
sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti
pendapat orang-orang yang sebelumnya dan menguraikan sebaik-baiknya.
Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak,
namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai
pada kebenaran tentang Tuhan. Inilah yang kita katakan manusia
mencari Allah suatu Filsafat Ketuhanan, berpikir tingkat tinggi sepeti ini
haruslah didasari oleh iman yang kuat agar kita tidak salah jalan dan sesat.
Karena sesungguhnya yang maha mengetahui atas hakikat ketuhanan itu hanyalah
Allah SWT.
Beberapa sikap orang beriman dalam mencari pencerahan
akan adanya Allah:
·
Manusia yang menerima begitu saja dikarenakan ajaran
turun-temurun dari para pendahulunya, manusia ditekankan harus percaya, bahkan
tanpa bertanya.
·
Manusia mulai bertanya mengapa dirinya ada? Mengapa
alam ada?
·
Kemudian menanyakan Allah terkait; siapa, isinya, dan
mengapa Dia ada
Semua jawaban itu akan dijawab oleh
para ahli dalam bidang yang disebut teologi; theos dan
logos, ilmu tentang hubungan manusia dan ciptaan dengan ALlah.
Jawaban-jawabannya bisa sangat beragam, tergantung agama dan kepercayaan yang mana yang
memberikan jawaban. Namun setidaknya ada beberapa kesimpulan yang mereka
berikan sebagai jawaban, dan sebaiknya kita tetap mendasarkan pemikiran itu
pada sumber yang benar agar kita tidak salah jalan dan tersesat dalam hasil
pemikiran kita sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP AL-KINDI
Terkenal denga sebutan “Filsuf Arab”, Ya’kub Ibn Ishaq Al-Kindi, berasal
dari Kindah di Yaman tetapi lahir di Kufah (Irak) pada tahun 797 M. bisa
dikatakan Al-kindi merupakan filsuf pertama yang lahir dari kalangan Islam.
Semasa hidupnya, selain bisa berbahasa Arab,
ia mahir berbahasa Yunani pula. Banyak
karya-karya para filsuf Yunani
diterjemahkannya dalam bahasa Arab; antara lain karya Aristoteles
dan Plotinus.
Al-Kindi berasal dari kalangan bangsawan dari Irak, ayah Al-Kindi adalah Gubernur Basrah. Setelah dewasa ia pergi ke bagdad dan
mendapat lindungan dari Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) dan Khalifah Al-Mu’tasim
(833-842 M). Al-Kindi menganut aliran Mu’tazilah dan kemudian belajar filsafat.
Zaman itu adalah zaman penterjemahan buku-buku Yunani dan Al-Kindi sepertinya juga
aktif dalam gerakan penterjemahan ini, tetapi usahanya lebih banyak dalam
member kesimpulan dari pada menterjemah. Karena ia orang yang berada, maka ia
dapat membayar orang-orang untuk menterjemahkan buku-buku yang diperlukannya.
Al Kindi
menuliskan banyak karya dalam berbagai bidang, geometri, astronomi, astrologi,
aritmatika, musik (yang dibangunnya dari berbagai prinip aritmatis), fisika,
medis, psikologi, meteorologi, dan politik. Ia membedakan antara intelek aktif
dengan intelek pasif yang diaktualkan dari bentuk intelek itu sendiri. Argumen
diskursif dan tindakan demonstratif ia anggap sebagai pengaruh dari intelek
ketiga dan yang keempat. Dalam ontologi dia mencoba mengambil parameter dari
kategori-kategori yang ada, yang ia kenalkan dalam lima bagian: zat(materi),
bentuk, gerak, tempat, waktu, yang ia sebut sebagai substansi primer. Al Kindi
mengumpulkan berbagai karya filsafat secara ensiklopedis, yang kemudian
diselesaikan oleh Ibnu Sina (Avicenna)
seabad kemudian. Ia juga tokoh pertama yang berhadapan dengan berbagai aksi
kejam dan penyiksaan yang dilancarkan oleh para bangsawan religius-ortodoks
terhadap berbagai pemikiran yang dianggap bid'ah,
dan dalam keadaan yang sedemikian tragis (terhadap para pemikir besar Islam) al
Kindi dapat membebaskan diri dari upaya kejam para bangsawan ortodoks itu.
Al-kindi sendiri mengarang buku-buku dan menurut keterangan Ibn Al-Nadim buku-buku
yang ditulisnya berjumlah 241 berupa filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi,
kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, music, matematika, dan sebagainya.
Dalam The Legacy of Islam kit abaca
bahwa bukunya tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak
mempengaruhi Roger Bacon. Al-Kindi meninggal pada tahun 973 M.
Unsur-unsur filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah :
a. Aliran
Pytagoras tentang matematika sebagai jalan kearah flsafat.
b. Pemikiran-pemikiran Aristoles dalam soal-soal fisika dan metafisika.
Meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang qodim-nya alam.
c. Pemikiran-pemikiran Plato dalam hal-hal kejiwaan.
d. Pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam
soal estetika.
e. Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam hal-hal yang
berhubungan dengan Tuhan dan sifat-Nya.
f. Aliran Mu’tazialah
dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an.
B. FILSAFAT
AL-KINDI
Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang
tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berpikir. Kata-katanya ini
ditunjukkan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya karena
dianggap sebagai ilmu kafir dan menyiapkan jalan kepada kekafiran.
Menurut Al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu
menurut kesanggupan manusia, ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyah), ilmu
keutamaan (fadilah), ilmu tentang semua hal yang berguna dan cara memperolehnya
serta cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Jadi, tujuan seorang filsuf
bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran dan bersifat amalan, yaitu
mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat dengan kebenaran,
semakin dekat pula kepada kesempurnaan.
Dalam keterangan Al-kindi tersebut terdapat unsur-unsur pikiran Plato dan
Aristoteles. Unsur Aristoteles terlihat pada pembagian filsafat bersifat teori
dan amalan. Unsur Plato ialah tercermin dari pendefinisiannya terhadap filsafat, karena sebelum Al-Kindi, Plato telah mengatakan
bahwa filsuf adalah orang yang menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran
serta penyelidikan, dan lebih mengutamakan jalan keyakinan daripada dugaan
(dhan).
Jalan mencapai kebenaran telah digariskan oleh Plato dan aliran Pitagoras.
Aliran Pitagoras menetapkan matematika sebagai jalan ke arah ilmu filsafat.
Sesuai dengan itu, maka Al-Kindi dalam salah satu risalahnya menyatakan
perlunya matematika untuk filsafat dan pembuatan obat-obatan. Dalam riasalah
lain yang berjudul Buku Aristoteles, Al-kindi menekankan perlunya mempelajari
buku-buku Aristoteles dengan menyebutkan urut-urutan kegunaan dan
tingkatannya. Dengan demikian maka Al-Kindi selain memperlihatkan corak
Platonisme dan Pitagorasme, ia merupakan pengikut Aristoteles pertama di
Arab.
Filsafat Al-kindi yang akan dibahas dalam makalah
ini antara lain:
1. Filsafat
Ketuhanan
Selain seorang filosof, Al-kindi adalah seorang ahli ilmu pengetahuan. Ia
membagi ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu :
a) Pengetahuan Illahi (Divine Science) sebagaimana tercantum
dalam Al-Qur’an yaitu Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
b) Pengetahuan Manusiawi (Human
Science), atau falsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).
Filsafat baginya ialah pengetahuan tentang yang benar (knowledfe of truth). Di sinilah terlihat persamaan filsafat dengan
agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, begitu
pula tujuan tujuan filsafat. Disamping wahyu, agama menggunakan akal, dan
filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama (the fisrt truth) bagi Al-kindi ialah Tuhan. Dengan demikian, pada
dasarnya filsafat membahas soal Tuhan dan agama. Dan filsafat yang paling
tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan Al-Kindi:
“Filsafat yang tekemuka dan tertinggi derajatnya adalah filsafat utama,
yaitu tentang yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar”
Tuhan dalam filsafat Al-kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah atau mahiah. Tidak aniah
karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia
adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun materi dan bentuk. Juga Tuhan tidak
mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah,
karena Tuhan tidak merupakan genus
atau species. Tuhan hanya satu, dan
tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan itu unik. Ia adalah Yang Benar Pertama dan Yang
Benar Tunggal. Ia semata-mata satu.. hanya ialah yang satu, selain Tuhan
semuanya mengandung arti banyak.
Sesuai dengan paham yang ada dalam islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah
Pencipta dan bukan penggerak pertama seperti pendapat Aristoteles. Alam bagi
Al-Kindi bukan kekal di zaman lampau, tetapi mempunyai permulaan. Karena itu
dalam hal ini ia lebih dekat pada filsafat Platonius yang mengatakan bahwa Yang
Maha Satu adalah sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha
Satu. Namun paham emanasi ini kurang kentara dalam filsafat Al-Kindi, sehingga
kemudian Al-Farabi-lah yang menuliskan tentang paham tersebut dengan jelas.
Menurut Al-Farabi Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang
wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub
(Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan
wujud”.
2. Filsafat Jiwa
Tidak mengherankan bahwa pembahasan tentang jiwa menjadi agenda yang
penting dalam filsafat Islam, hal ini disebabkan jiwa termasuk
unsur utama dari
manusia, bahkan sebagai inti sari dari manusia, kaum filosof muslim memasuki kata jiwa (al-Nafs) pada apapun yang dinisbatkan Al-Qur’an dengan ruh, Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.
Tidak menjelaskan secara tegas tentang ruh
atau jiwa, bahkan
Al
Qur’an, sebagai sumber pokok ajaran
Islam menginformasikan bahwa manusia tidak akan mengetahui hakekat ruh, karena ini
adalah urusan Allah SWT, bukan urusan
manusia. Justru itu kaum filosof
muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filusuf Yunani, kemudian mereka selaraskan dengan ajaran Islam.
Menurut Al-Kindi “roh (jiwa) adalah Jauhar Basith, tunggal, tidak tersusun, tidak panjang dan lebar, jiwa mempunyai arti penting, sempurna dan mulia,
substansi (jauharnya) berasal dari Allah. Hubungan dengan Allah sama dengan
hubungan cahaya
dengan matahari”, akan tetapi, apakah dengan demikian jiwa
itu
berasal alam Ilahi atau alam idea seperti
dikatakan Plato, tampaknya Al-Kindi
hanya mengatakan “ kita datang di
alam ini bagaikan titian atau jembatan yang dilalui oleh para penyebrang, tidak mempunyai tempat yang lama, tempat yang kita harapkan adalah alam tertinggi yang luhur ke mana jiwa kita akan berpindah
setelah mati”.
Ruh memiliki wujud tersendiri
dalam berbeda dengan
badan, sebab jasmani mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah, sedangkan ruh selalu menentang
keinginan hawa nafsu, sementara sifat ruh menjadi penganjur
kepada
ketenangan
dan
kelembutan, oleh karena itu perbedaan antara ruh dan jasmani amat
jelas. Inilah argumen Al-Kindi “ ruh bersifat kekal dan tidak hancur dengan
hancurnya badan, ruh tidak hancur karena substansinya berasal dari substansi badan, ruh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya
dan
pengetahuan
sempurna, hanya sebatas bercerai dengan badan, ruh memperoleh kesenangan
sempurna dalam
bentuk
pengetahuan sempurna”. Setelah
bercerai
dengan badan ruh pergi ke alam kebenaranatau alam kekal, diatas bintang-bintang dalam
lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan, disinilah letak kesenangan abadi
dari
ruh.
Al-Kindi menolak
pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa “jiwa
manusia sebagai benda-benda, tersusun dari dua unsur, materi dan bentuk, materi
ialah badan dan bentuk adalah jiwa manusia,
hubungan badan dan jiwa sama
dengan hubungan dengan materi”. Al-Kindi berpendapat bahwa ”jiwa lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri, karena keadaan badan yang mempunyai
hawa nafsu, sudah jelas
bahwa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang
dilarang”.
Pada pembahasan selanjutnya Al-Kindi dalam tulisannya juga menjelaskan
bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, antara lain:
1. daya nafsu (al-quwwat al-syahwaniyyat)
yang terdapat di perut,
2. daya marah (al-quwwat al-qadabiyyah)
yang terdapat di dada, dan
3. daya pikir (al-quwwat al-‘aqliyyat) yang
berpusat pada kepala.
Akhirnya dalam risalah yang berjudul
maqalat fi
al-‘aql (pembahasan
tentang
akal) ia mengembangkan tema tentang
intelek, Al-Kindi
membatasi akal
kepada empat
bagian:
1. Akal aktif
2. Akal potensial
3. Akal yang beralih dari potensial ke aktual
4. Akal akhir
Menurut Al-Kindi yang
dimaksu dengan “akal aktif” adalah serupa dengan
“sebab pertama” dalam konsepsi Aristoteles
yakni
Tuhan, akal
ini
senantiasa dalam keadaan aktif karena ia sebab bagi apa
yang terjadi
pada jiwa
manusia khususnya
dan
pada alam ini
umumnya.
Adapun
tiga akal
yang
lain, maka
ia
adalah jiwa itu sendiri, jiwa merupakan ”akal potensi” sebelum ia memikirkan
obyek pemikiran (ma’qulat) dan setelah memiliki obyeknya, maka ia beralih menjadi “akal aktual”
, akal dalam keadaan akal potensial tidak bisa dengan
sendirinya menjadi akal aktual tanpa ada sebab dan sebab bagi terjadinya proses itu adalah “akal
aktif” atau juga disebut “akal pertama” yakni Tuhan, jiwa dalam
tingkat akal aktual telah memiliki obyek
pemikirannya, sehingga ia bisa
menggunakannya kapan ia kehendaki, dalam tingkat terakhir, akal disebut “akal
akhir” jika ia telah mengunakan akal tersebut dalam kenyataan dalam
hal
ini Al- Kindi memberi contoh “menulis” yang
terdapat dalam jiwa sebagai bentuk
pengetahuan menulis, lalu dia pergunakan untuk menulis
oleh si penulis kapan saja ia kehendaki.
C. KESERASIAN AGAMA DAN FILASAFAT
DALAM PANDANGAN
AL-KINDI
Selama ini orang
berpendapat bahwa antara agama dan filsafat sebagai
dua hal yang saling
kontradiktif.
Pandangan tersebut pada
mulanya dianut
oleh mereka yang
berpaham
konservatif dan sangat anti dalam
menggunakan akal
dalam persoalan agama. Mereka berdasar pada asumsi bahwa filsafat secara epistemologi bertolak pada murni akal dan memakai metode skeptip (keragu-
raguan). Sedangkan agama adalah wilayah keimanan yang membutuhkan keyakinan, jawaban ini sepintas cukup memuaskan namun sungguh tidak tepat jika jawaban ini kemudian diterapkan pada filsafat Islam.
Al-Kindi adalah orang Islam pertama meretas jalan mengupayakan pemaduan dan keselarasan antara filsafat
dan
agama atau akal dan wahyu, karena
antara keduanya tidak bertentangan karena masing-masing adalah ilmu tentang kebenaran. Sedangkan kebenaran itu hanyalah satu,
dalam pengembangan filsafat pertama
Al-Kindi
mengatakan: ”yang
paling luhur dan paling mulia di
antara
segala seni manusia adalah seni filsafat, pengetahuan segala hal, sejauh
batas akal
manusia, tujuannya adalah mengetahui hakekat kebenaran dan bertindak sesuai
dengan kebenaran itu”.
Bagi Al-Kindi, argumen yang dibawa Al-qur’an lebih menyakinkan daripada
argumen yang dikemukakan filsafat, tetapi filsafat dan Al-Qur’an tidaklah
bertentangan, Al-Kindi
mengatakan “Kebenaran yang diberitakan wahyu tidaklah bertentangan dengan kebenaran yang dibawa oleh filsafat, karena filsafat adalah
pengetahuan tentang yang benar (knowledge of truth)”. Dari sini
kita
lihat
persamaan antara filsafat dan agama, yaitu menerangkan apa yang
benar dan apa
yang baik, agama disamping wahyu juga menggunakan akal sebagaimana
filsafat menggunakan akal.
Menurut Al-Kindi “kita
wajib berterima kasih kepada
para pendahulu yang telah memberikan kita ukuran kebenaran, dengan menganjurkan kita memetik
buah pikiran mereka
dan memperluas
kesempatan kita mencapai masalah- masalah yang tersembunyi dari kebenaran itu,
mereka
juga telah memberi rambu-
rambu yang meluruskan jalan
kita menuju kebenaran”.
Tujuan Al-Kindi
di atas adalah untuk menghalalkan filsafat bagi umat Islam,
usaha
yang
dilakukan cukup menarik dan
bijaksana, ia mulai dengan
membicarakan kebenaran sesuai dengan anjuran agama yang mengajarkan bahwa
kita wajib menerima kebenaran dengan sepenuh hati
tanpa mempersoalkan
sumbernya, sekalipun misalnya sumber itu dari orang asing, kemudian usaha
berikutnya ia masuk pada persoalan pokok
yakni filsafat. Telah diketahui bahwa tujuan filsafat sejalan dengan ajaran yang dibawa oleh Rasul,
oleh
karena itu sekalipun ia datang dari Yunani, maka kita menurut Al-Kindi wajib mempelajarinya
bahkan
lebih jauh dari kita wajib mencarinya
Menurut Al-Kindi ada dua jenis ilmu pengetahuan : pertama, pengetahuan ilahi, yaitu segala pengetahuan yang tertuang dalam Al-Qur'an, pengetahuan ilahi ialah
rangkaian pengetahuan yang langsung diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw.
Pondasi pengetahuan ilahi adalah keyakinan atau iman. Kedua, pengetahuan manusiawi atau falsafat yang menggunakan pemikiran
rasional,
kedua pengetahuan ini
satu dengan
yang
lain
tidak
mengandung pertentangan hanya dasar dan argumentasinya yang berbeda, dengan kata lain
pengetahuan
filsafat adalah
pengetahuan
yang
menggunakan
akal
sedangkan
pengetahuan
ilahi berasal dari wahyu.
Selanjutnya menurut Al-Kindi “pengetahuan manusia sendiri terdiri dari
pengetahuan aqli
dan pengetahuan naqli, pengetahuan pertama
dapat
mengungkapkan hakekat sesuatu, sedangkan pengetahuan terakhir hanya dapat
mengungkapkan bagian-bagian
sifat dari obyeknya”.
Hakekat yang
dimaksud
adalah sifat-sifat umum dari objek.
Sebagai orang yang mempelajari
pikiran-pikiran filsafat dari
masa-masa
sebelumnya, maka ia memperkenalkan pikiran-pikiran itu kepada dunia arab Islam
tentang
berbagai
persoalan yang sebenarnya terasa
asing
oleh mereka.
Oleh
karena itu, timbullah reaksi pada mereka untuk tidak mengambil filsafat dalam menyelesaikan persoalan agama. Namun,
Al-Kindi tetap semangat untuk
menghalalkan filsafat bagi umat Islam, untuk
memuakan pihak terutamaorang-
orang yang tidak senang pada
filsafat, dalam usaha pemaduan ini Al-Kindi juga
membawakan ayat-ayat Al-Qur'an menurutnya menerima dan mempelajari filsafat
sejalan dengan ajaran Al-Qur'an yang memerintahkan pemeluknya
untuk
meneliti dan
membahas segala fenomena
di alam semesta ini,
di antara
ayat-ayatnya sebagai berikut :
1. Surat Al-Hasyr
(59)
: 2
....maka ambillah untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.
2. Surat Al-A’raf (7): 185
Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan
bumi dan segala sesuatu
yang diciptakan Allah.
3. Surat Al-Ghasyiyat (88) : 17-20
Maka apakah mereka
tidak memperhatikan untuk bagaimana ia diciptakan. Dan langit, bagaimana ia
ditinggikan. Dan gunung-gunung, bagaimana ia ditegakkan.
Dan
bumi, bagaimana ia dihamparkan.
Dengan demikian, Al-Kindi telah membuka pintu bagi penafsiran
filosofis
terhadap Al-Qur'an, sehingga menghasilkan persesuaian antara wahyu dan akal dan antara filsafat
dan agama didasarkan
pada tiga alasan :
1. Ilmu agama merupakan bagian
dari
filsafat
2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling
bersesuaian
3. Menurut ilmu secara logika diperintahkan agama.
Menurut Al-Kindi untuk
memahami tujuan Nabi SAW. dalam Al-Qur'an, diperlukan penafsiran atau penjajakan makna-makna taksa (ambigous ) yang terkandung dalam Al-Qur'an
dengan sikap seperti ”orang-orang beragama dan berakal
budi yang
benar” ,
dia juga melukiskan penafsiran itu dengan mengutip ayat Al-Qur'an (QS. Al-Rahman
(55): 6) yang berbunyi, “ bintang-bintang dan
pepohonan bersujud pada Allah....., Al-Kindi menunjukkan bahwa apabila ditafsirkan secara tepat, ayat tersebut bisa menjelaskan betapa segala sesuatu termasuk yang diangkasa luar, bersujud kepada Allah. Tampak jelas bahwa Al-Kindi adalah pelopor dikembangkannya penafsir hermeneutic (takwil) pada ayat taksan (mutasyabihat) dalam Al-Qur'an.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
Al-Kindi merupakan pioner dalam melakukan usaha pemaduan antara filsafat
dan agama atau antara akal
dan
wahyu. Ia melempengkan jalan bagi Al-Farabi,Ibn Sina, dan Ibn Rusyd yang datang kemudian atau dapat dikatakan bahwa Al-Kindi telah memainkan peranan
yang besar dan penting dalam pentas filsafat Islam.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Al-Kindi, adalah seorang filosof yang berusaha mempertemukan agama
dengan filsafat. Sebagai seorang filosof, al-Kindi
amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar
tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama, diakui keterbatasan akal untuk
mencapai pengetahuan metefisis. Oleh karena itu, menurut al-Kindi, diperlukan
adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang diperoleh
dari wahyu Tuhan. Pemikiran filsafat al-Kindi merupakan pemikiran awal dan
sebagai pembuka jalan bagi para filosof sesudahnya.
Al-kindi berupaya membuktikan bahwa berfilsafat tidak dilarang. Meski Al-Kindi
terpengaruh pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles dan memperlihatkan corak
pitagorasme, namun dalam beberapa hal Al-Kindi tidak sependapat dengan para
filosof Yunani mengenai hal-hal yang dirasakan bertentangan dengan ajaran islam
yang diyakininya. Sebagai
filosof islam pertama yang menyelaraskan agama dengan filsafat, ia telah
melicinkan jalan bagi filosof sesudahnya, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn
Rusyd.
Sebagai
generasi muda yang baik, harusnya kita juga dapat memahami betapa pentingnya
pondasi (agama) itu sendiri dalam berfilsafat. Jangan memikirkan dan melakukan
sesuatu hal dalam hidup tanpa adanya dasar yang benar, khususnya dalam
berfilsafat karena saat kita salah kita akan tersesat dan akan menerima dampak
negatif atas apa yang telah kita kerjakan.
DAFTAR
PUSKATA
Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1995, Cet.
II Ahmad
Amroni Daradjat, Suhrawardi : Kritik
Filsafat Paripetik, Lkis, Jakarta, 2005,
Cet.
I
Drs. Poerwantana dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1987
Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam Bulan
Bintang, Jakarta, 1991, Cet. V
Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973